Belajar Dari Kesabaran Sang Laut

DI sebuah tempat di koordinat bumi, terdapatlah sebuah laut yang indah. Lautnya luas dan dalam. Airnya berwarna biru dan menyegarkan. Riak-riak air selalu bersenandung merdu di atas permukaannya. Ikan-ikan sangat senang tinggal di dalamnya, sebab kebeningan airnya menyebabkan sinar matahari mudah masuk dan juga banyaknya terumbu karang yang bisa jadi tempat tinggal ikan dan plankton.
Ternyata tak hanya ikan saja yang menyenanginya, manusia pun tak jauh beda. Setiap hari, kunjungan selalu ramai. Baik untuk sekedar melihat keindahannya ataupun untuk bermain-main dengan raik airnya yang kecil dan jenaka.
Laut terlihat sangat senang dan bahagia, sebab dia bisa berguna dan membahagiakan orang lain. Dia terus memuji dan bertasbih kepada Penciptanya yang telah begitu indah menciptakannya, yang telah memberikannya amanah terindah. Sang Penciptanya pun tersenyum menyaksikan ketundukan dan ketaatan sang Laut. Tapi…apakah pujian dan tasbihnya akan terus terlafadz? Sang Penciptanya pun memberikan ujian untuk menguji ketaatannya. Bukankah semuanya memerlukan pembuktian?
Tahun ini, musim panas telah berlangsung. Matahari mulai terasa terik menyinari. Alfa, betha dan gamma, terus-terusan membelai mesra tubuh sang Laut. Ikan-ikan senang karena mereka banyak mendapatkan sinar matahari, pun juga manusia, mereka senang berjemur di pasir pantainya. Laut tetap terlihat tenang, ia menyukai belaian hangat sang mentari dan partikel-partikel di sinarnya.
Hari-hari terlewati. Bulan-bulan pun datang. Memasuki bulan ketujuh, musim panas tetap berlangsung, bahkan panasnya sangat terik. Laut mulai gelisah. Tubuhnya terasa sangat nyeri karena terus-menerus terbaluri alfa, betha dan gamma yang sangat panas. Tak hanya itu, evaporasi besar-besaran pun terjadi. Ribuan, jutaan, bahkan milyaran Avogadro partikel airnya terserap ke Awan.
Volume airnya yang dulu melimpah dan tak pernah surut, kini hanya tinggal separuh. Ikan-ikan yang dulu senang bernanung di dalamnya, kini perlahan-lahan meninggalkannya. Laut mulai bersedih, matanya sembab. Tak hanya ikan, manusia yang dulu senang mengunjunginya, pun mulai enggan datang. Riak-riak air yang riang dan jenaka, kini pun menghilang pergi, yang ada hanya ombak besar kegelisahan dan ratapan. Laut kesepian dan merasa sendirian, tak lagi ada yang menemaninya.
Hari ini, panas terik kembali terjadi. Laut pun bersedih, sebab volume airnya pasti akan semakin berkurang. Ia menyenandungkan ratapan, memanggil sang Awan yang tak juga mau menurunkan hujan, tapi awan hanya diam saja. Awan tak bisa berbuat apa-apa, sebab titah untuknya belum turun. Kali ini, Laut menangis dan meraung, dengan tangisan yang memilukan. Ia sungguh tak mengerti kenapa Awan tak juga mau menurunkan airnya yang selama ini diserap? Bukankah evaporasi telah berlangsung lama, lantas kenapa tak jua turun hujan? Sebesar apakah Awan yang ada di atasnya ini?
Di tengah tangisan dan ratapan, Laut tak lupa untuk terus memuji dan tunduk pada Penciptanya, sebab Ia meyakini bahwa ini semuanya terjadi atas izin Penciptanya. Dan, ia pun tetap meyakini bahwa setelah semua kedukaan panjang ini, ia akan memperoleh kesukaan yang besar. Kapan itu terjadi? Saat ia telah mencukupi mahar yang telah ditentukan oleh Penciptanya.
Hari terus berganti, namun musim panas belum juga berganti. Volume air Sang Laut terus berkurang, bahkan kini hanya tersisa duaperlapan bagian saja. laut bersedih, namun tak lagi menangis meratap. Ia justru semakin memuji dan tunduk pada Penciptanya. Bahkan kini, iapun ikhlas seandainya ia harus berakhir manjadi sebuah jurang yang dalam, tanpa tergenangi lagi oleh air.
Dua purnama terlewati sudah, namun musim panas belum juga mau pergi, tetap setia membersamai Laut. Laut terdiam dan semakin ikhlas dengan keadaannnya. Salinitasnya semakin tinggi saja, sehingga membuatnya susah untuk bernafas dan menghirup udara bebas.
Laut semakin lemah dan ringkih, volume airnya hanya berjarak sehasta dari permukaan tanah. Di tengah kelemahan itu, ia terus membisikkan harapan pada semesta. Ia membayangkan hujan turun dengan sangat lebat dan memenuhi tubuhnya dengan air. Ia kembali lagi seperti dulu, disenangi oleh ikan dan manusia. Mimpinya sangat indah, dan mimpi itulah yang membuatnya terus bertahan di tengah kelemahannya.
Laut tersentak dengan keadaan, semua simpul mimpinya dilepaskan dan diterbangkan ke semesta. Ia tak mau lagi bermimpi sebab mimpinya tak jua terpenuhi. Laut semakin tertunduk dan memuji Penciptanya. Ia pun semakin ikhlas dengan hal buruk yang sepertinya akan menimpanya.
Di atas sana, Penciptanya tersenyum. Ia tak lagi menyangsikan ketaatan sang Laut. Ia pun menitahkan Awan untuk menurunkan hujan yang sangat lebat, sehingga semua ruang kosong laut terisi penuh dengan genangan air. Awan tunduk dan langsung menjalankan titah.
Laut semakin lemah dan kesulitan bernafas. Ia terpejam dan terus memejamkan matanya, sepertinya hari ini tugasnya akan berakhir. Langit menghitam. Guntur bersahut-sahutan. Kilatan cahaya terus berkejar-kejaran. Laut tersentak dan membuka matanya. Batinnya berkata bahwa hujan akan segera turun.
Satu jam berlalu sudah, tapi hujan yang diharapkannya tak jua datang. Laut semakin lemah dan ringkih. Ia pun tertidur pulas dengan senyuman, karena ia menyangka tak akan lagi terbangun. Tiba-tiba…ratusan, ribuan, jutaan, bahkan triyunan Avogadro partikel air membelainya dengan manja. Laut tersentak, bergembira dan terus memuji Penciptanya. Maharnya telah terpenuhi, kedukaannya telah tuntas dijalankan, dan kini, ia menikmati kesukaan.
Tiga hari tiga malam sudah hujannya berlangsung. Kini, volume air sang lautpun kembali penuh, seperti semula. Keadaannya pun kembali seperti dulu : airnya biru dan sejuk, ikan-ikan berdatangan dan manusia pun ramai mengunjunginya. Laut kembali ceria dan berbahagia.
Di tengah semua kesukaan itu, laut terus melafadzkan pujian untuk Penciptanya yang telah mengajarinya banyak hal. Ia pun kini mulai mengerti dengan siklus hidup dan kehidupan. Dari atas sana, Penciptanya pun tersenyum.

 https://www.islampos.com/kesabaran-sang-laut-14153/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »